Pemerintah Menciptakan Sistem Pendidikan yang Tidak Mendidik

Senin, 26 Desember 2011



Ada banyak efek negatif dari Ujian Nasional yang memberikan dampak terpuruknya mental siswa, orang tua beserta pendidik. Tuntutan kelulusan siswa melalui Ujian Nasional membuat pelaku dunia pendidikan melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Sebenarnya di lapangan banyak terjadi pencurian soal namun hanya beberapa saja yang terungkap. Ketika mendekati Ujian Nasional, sekolah-sekolah membentuk tim sukses dengan tujuan membantu para muridnya dengan melakukan teknik-teknik yang beraneka ragam..

Yang banyak dilakukan di sekolah-sekolah yaitu dengan cara mengambil sisa soal di ruang ujian kemudian dikerjakan oleh seorang guru lalu disebarkan ke muridnya melalui HP ada juga yang langsung melalui pengawas ruang, walaupun pengawas ruang adalah guru dari sekolah lain tetapi mereka juga seorang guru yang muridnya secara bersamaan juga menghadapi ujian jadi tahu sama tahu kerjasama saling menguntungkan dan masih banyak lagi teknik lain yang dilakukan.

Semua yang mereka lakukan adalah bentuk pengabdian kepada sekolah, yang mereka lakukan adalah bentuk kasih sayang kepada anak didiknya, yang mereka lakukan merupakan wujud keperdulian terhadap masa depan anak didiknya dan mereka adalah para korban sistem yang dibentuk oleh pemerintah.

Pemerintah ingin mendapatkan sebuah angka yang dinamakan standard pendidikan tapi akibatnya para siswa berbuat curang, para pendidik berbuat curang dan sekolah bukan lagi tempat-tempat untuk mendidik mental siswa, sekolah bukanlah lagi tempat untuk mendidik generasi untuk berbuat jujur dan yang lebih ironis, masih pantaskah guru disebut seorang pendidik?. Guru berada pada pilihan yang sulit, mereka harus melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani demi anak didik dan pengabdiannya pada sekolah.

Sekarang kita bicara tentang hasil Ujian Nasional. Universitas tidak mempercayai hasil Ujian Nasional karena belum tentu siswa yang berprestasi mendapatkan hasil UN yang baik. Buktinya Universitas Favorit dalam menerima mahasiswa baru tidak berpedoman pada nilai UN. Yang jelas banyak siswa berprestasi mendapatkan ijasah paket karena kegagalannya menghadapi UN, banyak siswa yang telah dinyatakan diterima di universitas dalam dan luar negeri tetapi batal diterima dikarenakan kegagalan dalam UN. Faktanya beberapa tahun yang lalu ada seorang siswi mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri karena kemampuan bahasa inggrisnya yang baik, namun akhirnya kandas gara-gara nilai matematikanya di bawah standard yang mengakibatkan siswi tersebut tidak lulus UN. Yang jelas jika siswa gagal dalam UN dan mendapatkan ijazah paket, maka kegagalan tersebut akan melekat pada siswa seumur hidup dan akan melukai mental siswa seumur hidup.

Sekarang kita bicara kurikulum yang berlaku. Sekarang ini di Indonesia memakai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang merupakan pengembangan dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). KBK merupakan kurikulum yang mewadahi keinginan siswa untuk mendalami pendidikan sesuai dengan kompetensinya. Andaikan siswa memilih mendalami bidang Olah Raga apakah siswa tersebut menempuh UN sesuai dengan kompetensinya di bidang Olah Raga? Andaikan siswa memilih mendalami bidang kesenian, apakah siswa tersebut menempuh UN sesuai dengan kompetensinya dibidang kesenian?. Lalu, sesuaikan Ujian Nasional dengan kurikulum yang berlaku sekarang?.

Terakhir kalinya bahwa Ujian Nasional mendidik para generasi penerus untuk terbiasa berbuat curang dan siapa yang paling disalahkan jika masa yang akan datang para pemegang ekonomi di Negara ini menjadi koruptor akibat dari didikan Ujian Nasional.

Saya yakin seyakin-yakinnya jika ada capres dan cawapres yang memiliki misi penghapusan UN atau kelulusan tidak didasarkan pada nilai UN maka akan dipilih oleh para Pendidik, siswa, para petani yang anaknya menjadi siswa, para buruh yang anaknya menjadi siswa, para pedagang yang anaknya menjadi seorang siswa, para pelaku industri yang anaknya menjadi seorang siswa dan seluruh warga Indonesia yang anaknya menjadi seorang siswa!

Mohon dikaji para calon penguasa

foto:mrghelvin.files.wordpress.com/

Laboraturium Visi

Bukan Kaki Kita yang Menggerakkan Kita Tapi Pikiran Kita

(Pepatah Cina Kuno)

Seorang teman dari Jerman pernah mengatakan kepada saya bahwa orang Jerman memegang sebuah pepatah tentang tiga hal: pertama, apabila seseorang kehilangan hartanya, ia tidak kehilangan apa-apa dari hidupnya. Kedua, apabila seseorang kehilangan kesehatannya, ia kehilangan separuh dari hidupnya. Dan ketiga, apabila seseorang kehilangan karakternya, ia kehilangan seluruh dari hidupnya.

Belajar dari pepatah tersebut, tanpa kita sadari Tuhan sedang membawa kita kedalam proses pembentukkan karakter, oleh karena itu melalui tempaan pengalaman hidup permasalahan sebenarnya hanya waktu untuk menunggu sampai karakter kita terbentuk. Dalam tempaan hidup ini tanpa kita sadari kita telah belajar tentang banyak hal, mulai dari kesabaran, kelemah lembutan, penguasaan diri dan ketaatan, hingga tata nilai positif lainnya. Tentunya keberhasilan melalui semuanya itu tidak terlepas dari mimpi atau harapan yang inigin kita capai, inilah yang kita kenal sebagai visi. Visi membuat kita mempunyai motivasi dan tidak mudah kecewa, sedangkan pembentukan karakter mempersiapkan kita untuk melayani lebih baik bila visi kita itu tercapai.

Bagi seseorang, visi seperti tonggak nun jauh di horison yang mendorong kita untuk terus berlari tahap demi tahap hingga mencapainya. Visi menantang kita untuk hidup pada saat ini sejalan dengan visi tersebut. Visi, dengan demikian, dapat menjadi daya dorong yang kuat untuk hidup lebih bijaksana, lebih tekun, tertib dan mau bekerja keras. Seorang raja yang arif pernah mengatakan, “Kalau tidak memiliki visi, kita akan hidup secara liar.” Visi adalah sesuatu yang berharga menuntut komitmen dan pengorbanan. Pertanyaannya: Bersediakah kita terus mengejar visi kita – berapapun harganya? Pada titik itu kita akan menyadari bahwa bukan lagi kita yang membentuk visi tersebut, namun visi itulah yang akan membentuk kehidupan kita.

Dinamika Pola pikir

Sebagaimana kita ketahui bersama, pola pikir seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Secara khusus Jhon Naisbit dalam bukunya Mindset (2007) menyebutkan “Di tatanan makro, ada orang-orang yang memiliki pola pikir bahwa dunia ini sedang berada dalam periode “ benturan peradaban”, dan mereka melihat segalanya dalam benturan peradaban. Sebagian lainnya, melihat dunia dalam bingkai pola pikir periode pikir ekonomi panjang determinisme ekonomi dunia. Berbeda-beda tergantung pola pikir kita. Hasilnya: kesimpulan yang berbeda pula. Intinya ada pada bagaimana kita menerima informasi. Itulah kuncinya”

Dari keterangan Naisbit kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa pemikiran seseorang akan sangat dipengaruhi bagaimana cara ia berfikir dan menerima informasi. Ada banyak orang/tokoh yang berhasil karena fikirannya tidak dipengaruhi oleh cara berfikir orang-orang pada masanya atau lingkungannya. Contohnya Albert Einstein, awalnya saat belajar fisika di Polytechnikum, Zurich. Disertasinya ditolak, satu-satunya lulusan diangkatannya yang ditolak mendapatkan pekerjaan akademis. Menurut dosennya ia pintar tapi tidak cukup mendengarkan orang lain. Lewat usaha yang keras, akhirnya di awal tahun 1902, ia diterima sebagai guru sekolah di

Schauffhausen dan diterima sebagai penguji hak paten di Bern. Dalam masa pengasingan, pada tahun 1905 Einstein menulis surat kepada temannya pakar matematika Conrand Habicht, temannya guru sekolah di Schauffhausen. Kepada temannya, Conrand Habicht ia meminta agar temannya mengirim disertasinya, sebagai balasannya ia akan mengirim 4 makalah. Makalah pertama berhubungan dengan sinar radiasi dan sifat-sifat energi cahaya, (kedua) penentuan ukuran atom yang sebenarnya, (ketiga) tentang ukuran massa 1/1000 mm. keempat tentang hukum elektrodinamika. Setiap tahunnya Einstein mengirim makalah. Pada saat ia mengirim rumus E = MC², ia mengatakan “kira-kira apakah Tuhan akan tertawa, pasalnya ia secara bercanda sedang membuatku tersesat”. Akhirnya dengan rumus ini Einsten berhasil dikenang namanya hingga saat ini.

Mengapa Albert Einstein berhasil? Mindset!, ia bebas berimajinasi menghubungkan titik-titik yang orang lihat tidak memiliki hubungan serta bersedia untuk dikejutkan oleh hasil apapun yang muncul. Ia fokus pada substansi, bukan ego. Einstein memiliki mindset yang benar-benar original dan tidak terpengaruh. Dari sini lahir ide- ide besar yang mengguncang dunia.

Kisah lainnya adalah Isacc Newton, terlahir dalam kamar sempit tanpa mengenal seorang ayah. Pada masa kecilnya ia termasuk orang yang was-was, kesepian dan tersisihkan. Sebagai remaja Newton muda belum tahu berbuat apa atau melakukan apa, tetapi ia jelas tidak ingin mengembalakan domba atau membajak sawah. Sebuah pekerjaan yang lazin di dikerjakan pada saat itu. Pada tahun 1661 ia di terima di Cambridge University. Pada saat itu universitas Cambridge mengelompokkan mahasiswanya dalam tiga kategori yakni (1) Noblemen; mahasiswa kaya yang bisa memperoleh gelar tanpa ujian yang sulit. (2) Pensioners: mahasiswa yang bertujuan untuk bekerja pada gereja dan (3) Sizars: mahasiswa yang memperoleh fasilitas dengan cara melayani mahasiswa lainnya, megerjakan pekerjaan rumah tangga, menunggu mereka saat makan dan makan makanan yang tersisa. Newton masuk kategori subsizar. Newton merasakan belajar sebagai bentuk obsesi; tujuan mulia; pelayanan kepada Tuhan dan sekaligus hal yang membanggakan. Tiga hal yang menarik hatinya adalah Uang, Belajar dan Kesenangan. Namun pada kenyataannya tidak banyak uang dan kesenangan yang ia miliki. Walupun begitu

Newton belajar dengan keras, ia tidak terpengaruh dengan kondisi yang ada. Ia membaca karya Aristoteles yakni Organon dan Nicomachean Ethics, mempelajari tentang gerak, membaca karya ilmuwan dan filosof perancis yakni Rene Descartes dan Astronom Italia yakni Galileo Galilei. melalui proses perenungan yang panjang dan berfikir ulang Newton banyak sekali menghasilkan karya baru dan merubah paradigma lama dan sangat berpengaruh bagi kemajuan manusia, bahkan Albert Einsten menuliskan komentarnya di Smithsonian Annual Report tahun 1927 terhadap peringatan 200 tahun kematian Isacc Newton: “ arti penting prestasi newton bukan hanya terletak pada peletakan basis yang logis bagi mekanika, lebih dari itu menjadi dasar program bagi semua penelitian teoritis dibidang fisika”.Pelajaran apa yang bisa kita tarik? Newton berhasil juga karena merubah mindsetnya. Ia tidak puas hanya menjadi ordinary man pada saat itu yakni mengembalakan domba atau membajak sawah. Ia punya cita-cita besar.

Dalam semua kisah keberhasilan ini, dapat kita tangkap bahwa dinamika pola pikir turut membentuk visi, mentalitas dan karakter seseorang dalam menjalani hidup. Seseorang yang berhasil adalah mereka yang dapat memunculkan ketiga hal tersebut dalam tindakan. Kemampuan inilah yang diidentifikasikan oleh Prof. Zainuddin Maliki sebagai “resilent behavior”, perilaku yang melekat beserta nilai yang diyakini dalam sikap dan tindakan.

Pentingnya Sebuah Visi

Seseorang yang hidup dengan tujuan, atau dengan kata lain dia memimpin dirinya sendiri dengan baik adalah orang yang memiliki Visi, Mentalitas dan Karakter. Semua itu merupakan sesuatu yang dibentuk dan saling berhubungan satu sama lainnya. Seseorang akan dianggap benar-benar jujur dengan visi hidupnya apabila visi itu termanifestasi dalam karakternya. Kita ambil contoh seorang mahasiswa yang mengatakan dirinya anti-korupsi tapi sering memakai sandal milik teman kosnya tanpa izin, meminjam buku tanpa niat untuk mengembalikan (bahkan menghilangkannya), dan tidak mengerjakan ujian semester dengan jujur. Dan lebih jauh, manusia hidup di dunia, semuanya pasti ingin bahagia. Namun bahagia yang seperti apa, terkadang sebagian dari mereka tidak tahu. Sebuah organisasi dalam menjalankan aktivitasnya, tidak akan tercapai dan sukses tanpa adanya visi. Begini, visi itu adalah pandangan ke depan. Mau melakukan apapun itu, harus ada visi. Ibarat kamu mau ke sekolah, memakai jalur A. Maka, jangan sekali – kali beralih ke yang lain guna mencapai ke sekolah.

Visi bukan kata bijak para filsuf, bukan pula kalimat rumit yang harus dirumuskan. Ia hanyalah media/alat ukur bagi sebuah individu atau kelompok, untuk mencapai tujuan tertentu. Bagaimana kaitannya dengan mental individu ? jika seorang anak berbuat nakal, berbuat onar terhadap temannya. Orang tua akan meluruskan tindakan anak tersebut, begitu pun manusia dalam menjalani hidup. Dia akan berbuat dan bertindak sesuai visi yang dibuat. Artinya, individu atau kelompok itu. Tidak akan terjerumus hidupnya, karena telah memiliki visi masing – masing. Visi dibuat bisa kapan saja. Tak peduli umur, status sosial, tingkat pendidikan dan lain – lain. Seperti kata Jusuf Kalla“lebih cepat , lebih baik”. Cara membuat visi tidak perlu rumit memikirkannya, cukup dengan beberapa langkah : Kamu ingin dikenal sebagai apa ?, Tentukan apa yang menjadi keahlianmu, carilah pendukungnya dan mulailah membentuk visi. Dan terkait dengan itu semua, satu sisi yang sangat penting Anda sikapi dalam memegang teguh prinsip hidup Anda yaitu visi hidup yang didasarkan atas prinsip-prinsip kebenaran.

Proses aksi, reaksi dan refleksi haruslah benar-benar dilaksanakan oleh seorang pribadi. Kegiatan yang melalui proses perenungan yang panjang dan berfikir ulang atas semua yang terjadi. Sebab, ibarat sebagai sebuah laboratorium, kehidupan memberikan peluang yang luar biasa besar bagi setiap orang untuk menjadi apa yang ingin dicapainya. Pengalaman hidup pada hakikatnya hanyalah deposito kekayaan yang seharusnya menambahkan kebijaksanaan seseorang sebagai seorang manusia. Modal inilah yang terpenting disaat seseorang harus mengasah pola pikirnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sehingga ia mampu menjadi sosok ideal sebagaimana dia inginkan. Diakhir tulisan ini saya ingin mengutip pepatah Jepang tentang visi, untuk sekedar mengingatkan kita semua bahwa visi tanpa tindakan adalah mimpi disiang bolong dan tindakan tanpa visi adalah mimpi buruk. Biarlah visi kita terealisasi oleh tindakan kita, dan biarlah tindakan kita dipimpin oleh visi kita. Keberhasilan kita dimasa mendatang, sangatlah dipengaruhi oleh “Apa yang kita pikirkan hari ini”.

Sumber gambar: http://www.authenticlawmarketing.com

Belajar dari matahari...

Jumat, 18 November 2011

Pedang paling kuat dan tajam adalah logam besi
yang mendapatkan tempaan paling keras pada nyala api
yang sangat panas,
maka jangan kamu berharap menjadi kuat
jika tidak berani hadapi ujian dan kerasnya hidup ini

Sebatang mancis tidak akan bernyala
bercahaya dan bermanfaat sebelum ia terbakar
jangan pernah harap kejayaan tanpa perjuangan dan pengorbanan
tidak akan berhasil seseorang sebelum merasakan kegagalan

Jadilah orang yang selalu memberikan kebahagian
Walaupun hanya dengan sapaan, salam dan sebuah senyuman
jangan pernah mementingkan diri sendiri
Belajarlah dari Matahari yang mampu untuk bersinar lebih lama lagi…
Tetapi dia tetap memberi peluang untuk sang bulan untuk menunjukkan diri

Sahabat….
Kemenangan adalah saat dimana kita dalam keterbatasan
tetapi masih sanggup menghasilkan karya terbaik yang mengagumkan
Kemenangan adalah saat kita ikhlas memberikan jalan-jalan kebahagiaan
Kepada orang-orang yang begitu memerlukan pertolongan

Sahabat….
Kemenangan adalah saat kita mampu memaafkan kesalahan
meskipun kita telah dikecewakan dengan begitu dahsyatnya
Kemenangan adalah saat kejujuran lebih kita utamakan
Daripada mendahulukan ego dan kepentingan diri sendiri
Kemenangan adalah saat kita mampu memberikan yang terbaik
meskipun kita dalam keadaan yang apa adanya.

Sahabat….
Jika kamu tidak tahu atau bingung
tentang siapa yang kamu sangat sayangi
Ingatlah saat-saat dimana kamu berada
dalam suasana yang tidak ingin kamu kenang
disitulah kamu mengenali dirimu sebenarnya
disitulah kamu juga tahu siapa yang paling kamu sayangi

Cara membalas dendam terbaik adalah hidup dengan lebih baik
daripada orang yang membenci atau menyakiti kita..


Sumber: http://akuislam.com/blog/kisah-tauladan/belajarlah-dari-matahari/#ixzz1e9zAKqQE

Tanda tanda Orang Baik !!!

Tanda-tanda orang mukmin ada tiga :

Berhati-hati terhadap harta, berhati-hati terhadap perempuan dan berhati-hati dalam berbicara.

Tanda-tanda orang yang berakal ada tiga :
Memanfaatkan (kekayaan) dunia untuk kepentingan akherat, memerangi kebathilan dan sabar.

Tanda-tanda orang takwa ada tiga :
Berkata polos(jujur), meninggalkan sesuatu yang haram dan bersikap tawadhu’ (rendah hati).

Tanda-tanda orang jujur ada tiga :
Merahasiakan amal ibadah, merahasiakan sedekah dan merahasiakan maksiat (tindakan amoral): sebagai suatu rahasia.

Tanda-tanda hamba Allah ada tiga :
Membenci hawa nafsunya, memikirkannya dan banyak menginget Allah.

Tanda-tanda orang sholeh itu tiga :
Memperbaiki diri kepada Allah, memperbaiki hubungan dengan sesama dan memperbaiki sikap agamanya, sesuai yang diridhoi Allah dan tidak menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat.

Tanda-tanda orang bahagia ada tiga :
Rezeki yang halal, dekat dengan ulama dan menjaga shalat berjamaah lima waktu.

Tanda-tanda orang mukmin ada tiga :
Segera kembali taat kepada Allah, meninggalkan hal-hal yang haram dan bersikap baik terhadap orang yang mempunyai kesalahan terhadapnya.

Tanda-tanda dermawan ada tiga :
Berlapang dada dalam menerima takdir, mengeluarkan zakat dan suka bersedekah.

Tanda-tanda orang yang bertaubat ada tiga :
Sabar untuk taat kepada Allah, sabar terhadap musibah dan sabar terhadap ketentuan Allah.

Delapan Tanda Orang Ikhlas

Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.

Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).

Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.

Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”

Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)

7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.

Komentar Orang Singapura Tentang Indonesia

Ini adalah sebuah cerita nyata yang diceritakan dari sebuah mailist dan telah diceritakan dari forum ke forum di internet hingga para blogger. cerita ini memang agak basi dimata para blogger tapi bagi anda yang belum tahu, anda patut mengetahui cerita ini.
Komentar Orang Singapura Tentang Indonesia

Diceritakan seorang warga negara singapura yang sedang berkunjung ke indonesia (Lampung tepatnya saat itu) bertemu dengan sahabatnya (orang Indonesia) dibandara dan merekapun saling tegur sapa dilanjutkan dengan obrolan yang membuat anda-anda semua akan lebih mencintai dan menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap indonesia. langsung saja silahkan simak cerita tersebut. Suatu pagi di Bandar Lampung, kami menjemput seseorang di bandara. Orang itu sudah tua, kisaran 60 tahun. Sebut saja si bapak.

Si bapak adalah pengusaha asal singapura, dengan logat bicara gaya melayu, english, (atau singlish) beliau menceritakan pengalaman2 hidupnya kepada kami yang masih muda. Mulai dari pengalaman bisnis, spiritual, keluarga, bahkan percintaan hehehe..

Your country is so rich! (Negara kamu itu sangat kaya!), Ah biasa banget kan denger kata-kata begitu. Tapi tunggu dulu..

Si bapak melanjutkan ucapan-nya
Indonesia doesn’t need the world, but the world needs Indonesia! (Indonesia tidak memerlukan dunia ini. Dunia inilah yang butuh indonesia!)

Everything can be found here in Indonesia, u don’t need the world! (Semua telah tersedia di indonesia, kalian tidak memerlukan dunia!)

Mudah saja, Indonesia paru2 dunia. Tebang saja hutan di Kalimantan, dunia pasti kiamat. Dunia yang butuh Indonesia !

“Singapore is nothing, we cant be rich without Indonesia . 500.000 orang Indonesia berlibur ke Singapura setiap bulan. Bisa terbayang uang yang masuk ke kami, apartemen2 dan condo terbaru kami yang membeli pun orang-orang indonesia, tidak peduli harga yang selangit, laku keras. Lihatlah rumah sakit kami, orang Indonesia semua yang berobat.”

“Kalian tahu bagaimana kalapnya pemerintah kami ketika asap hutan Indonesia masuk? Ya, benar2 panik. sangat terasa, we are nothing.”

“Kalian ga tau kan kalau Agustus kemarin (tahun lalu) saat dunia krisis beras. Termasuk di Singapura dan Malaysia, kalian di Indonesia dengan mudah dapat beras”

“Lihatlah negara kalian, air bersih dimana-mana.. lihatlah negara kami, air bersih pun kami beli dari malaysia. Saya pernah ke Kalimantan, bahkan pasir pun mengandung permata. Terlihat glitter kalo ada matahari bersinar. Petani disana menjual Rp3000/kg ke sebuah pabrik di China. Dan si pabrik menjualnya kembali seharga Rp 30.000/kg. Saya melihatnya sendiri”

“Kalian sadar tidak kalau negara-negara lain selalu takut meng-embargo Indonesia?! Ya, karena negara kalian memiliki segalanya. Mereka takut kalau kalian menjadi mandiri, makanya tidak di embargo. Harusnya KALIANLAH YANG MENG-EMBARGO DIRI KALIAN SENDIRI. Belilah dari petani2 kita sendiri, belilah tekstil garmen dari pabrik2 sendiri. Tak perlu
kalian impor klo bisa produksi sendiri.”

“Jika kalian bisa mandiri, bisa MENG-EMBARGO DIRI SENDIRI, Indonesia will rules the world..” (Indonesia akan Mengendalikan Dunia Ini)

“AYO KITA MENJADI GENERASI YANG BISA DI BANGGAKAN NEGARA”

Sumber http://mrcoppas.blogspot.com/2011/10/komentar-orang-singapura-tetang.html

Crunchbang Linux

Minggu, 30 Oktober 2011

Tentang CrunchBang Linux


Statler, showing the powerful and versatile Terminator terminal.Statler, showing Flash support within Chromium web browser.
CrunchBang Linux adalah Debian GNU / Linux distribusi berbasis menampilkan ringanWindow Manajer Openbox dan lingkungan Xfce desktop yang . Distribusi dibangun menggunakan Debian Live Project dan dirancang untuk menawarkan modern, fitur lengkap sistem GNU / Linux tanpa mengorbankan kinerja.

CrunchBang Linux tersedia untuk dijalankan sebagai sebuah LiveCD, namun, kinerja terbaik adalah dicapai dengan menginstal Linux CrunchBang ke hard disk Anda


Fitur n' Kecepatan

CrunchBang Linux menggunakan window manager Openbox. Openbox adalah ringan dan cepat, dan sebagai hasilnya. Juga, saat CrunchBang Linux tidak terutama dirancang untuk sistem lama, telah dilaporkan untuk beroperasi dengan sangat baik di mana sumber daya sistem yang terbatas. Setelah terinstal, CrunchBang Linux harus boot-up dan beroperasi lebih cepat daripada instalasi GNOME / KDE biasa Debian.

Kompatibilitas dengan Debian

Dengan pengecualian beberapa paket, CrunchBang Linux dibangun seluruhnya dari paket yang tersedia dari repositori Debian . CrunchBang Linux menggunakan alat manajemen paket APT yang sama dan manajer update. Jika Anda sudah akrab dengan Debian atau Ubuntu, Anda seharusnya tidak memiliki kesulitan bekerja dengan CrunchBang Linux.

Kemudahan penggunaan

CrunchBang Linux dilengkapi dengan kemampuan untuk memainkan format media yang paling populer, termasuk tetapi tidak terbatas pada MP3, playback DVD & Adobe Flash. CrunchBang Linux juga dilengkapi dengan aplikasi populer yang diinstal secara default, termasuk tetapi tidak terbatas pada peramban Google Chrome (versi open source dari Google Chrome), VLC media player dan Klien Transmisi BitTorrent .

Sangat dapat dikonfigurasi

CrunchBang Linux adalah mudah di "hackable", ini terutama karena standar compliant ringan window manager extensible yang Openbox . CrunchBang Linux juga dilengkapi diinstal dengan Conky , monitor sistem disesuaikan ringan, dan Thunar , file manager yang sangat populer dan sangat dapat dikonfigurasi.

Tips menambah sub title dengan ekstensi srt

Tidak bisa dipungkiri, semakin mudahnya akses untuk mendapatkan koneksi ke dunia maya (internet) dan semakin cepat bandwith yang tersedia didalamnya, maka semakin mempermudah seseorang untuk mendownload sebuah film-film terkemuka saat ini ataupun film-film kenangan jaman dahulu kala.

Lewat fasilitas torrent, download peer-to-peer ataupun lewat sharing file yang berserakan secara cuma-cuma di internet, yang bisa di cari dengan mudah lewat mesin pencari layaknya google ataupun yahoo, tidaklah membuat heran jikalau film yang belum diputar di gedung bioskop terkemuka telah ada versi ripper-nya di dunia maya dan siap untuk di download kapan saja oleh siapa saja yang mempunyai akses kepadanya dengan kualitas gambar yang sungguh menakjubkan yang sekualitas DVD ataupun HDV dengan besar file yang relatif kecil (rata-rata untuk format .avi sekitar 600 - 900 MB) !!

Namun jangan lantas membuat anda khawatir jikalau film hasil download-an Anda tidak bisa dipahami dengan seksama. Karena harap maklum saja, rata-rata kesemuanya adalah dalam format Bahasa Inggris. Bersyukurlah telah hadir sebuah komunitas yang dengan sukarela memberikan kepada kita waktu mereka secara cuma-cuma untuk menerjemahkan ribuan ataupun ratusan ribu film yang telah beredar ke berbagai macam bahasa yang ada di dunia ini, termasuk kedalam Bahasa Indonesia tentunya. ;)

Berikut ini cara untuk menambahkan subtitle pada film hasil download-an Anda :

1. Download film kesukaan Anda terlebih dahulu (lewati step ini jika Anda telah mempunyai filmnya, yang biasanya ber-extension .avi)
2.Buka website kumpulan subtitle yang ada di Subscene, atau di OpenSubtitle (thanks buat om PJ untuk infonya)
3.Cari subtitle dari film yang telah Anda download di kotak search
4.Klik salah satu judul yang cocok dari hasil search
Jika Anda beruntung, mungkin saja telah ada seseorang yang telah membuat subtitle (terjemahan) dalam bahasa Indonesia, jika tidak, maka Bahasa Inggris pun cukup membantu kita untuk lebih memahami apa yang sedang dibicarakan pada saat itu di film tersebut ;)
5.Klik pada judul subtitle tersebut, dan kemudian Download file subtitle tersebut pada menu download dibawahnya
6. Ekstrak kedalam folder dimana film Anda berada, dan beri nama SAMA PERSIS dengan nama film Anda tapi dengan extension .srt (lihat pada gambar contoh diatas)
7.Terakhir buka file film Anda (extension .avi) dengan player kesayangan Anda (Windows Media Player, Winamp, PowerDVD, dll), dan …
Selamat menikmati film kesayangan Anda.

Semoga tips diatas bermanfaat dan berguna buat kita semuanya. Sampai jumpa lagi di tips dan trik berikutnya. ;)

Mengapa manusia sulit untuk Shalat !

Sabtu, 29 Oktober 2011


Agama tidak hanya mengajarkan percaya pada Tuhan saja. Di dalamnya ada tuntunan dan aturan-aturan yang harus dipatuhi. Ada kewajiban yang harus dijalankan, baik itu kewajiban kepada sesama manusia maupun kewajiban kepada tuhan. Standart pribadiku kewajiban untuk berbuat baik kepada sesama manusia bisa hanya sebatas tidak merugikan orang lain. Tidak mengganggu orang lain dan tidak mengambil alih hak-hak orang lain. dan lagi kita bisa berimprovisasi sendiri meningkatkan nilai diri lewat membantu orang lain.

Shalat adalah salah satu ibadah yang paling diwajibkan oleh Tuhan.

Waktu usiaku 7 tahun, aku merasa tidak berkewajiban untuk menunaikan ibadah shalat. Karena dulu, aku percaya kalau katanya dosa anak yang belum baligh (dewasa) itu ditanggung oleh orang tua. Pasalnya, orang tua lah yang berkewajiban mendidik anaknya. Ya, sesekali aku shalat karena cinta pada orang tua. Takut kalau mereka harus masuk neraka karena aku tidak shalat. Padahal hakikatnya kalimat "dosa ditanggung oleh orang tua" itu adalah agar anak jadi rajin beribadah, karena biasanya anak-anak akan mencintai orang tuanya dan tidak mau kalau orang tuanya masuk neraka.

Menginjak usia 13 tahun, aku juga belum shalat. Lah, kan aku belum baligh. Jadi belum menanggung dosa sendiri. Masih ada orang tua yang bisa dijadikan tameng dari dosa-dosa. Lagipula di usia itu adalah saat yang paling enak untuk bermain dengan teman sebaya. Bermain sepak bola, kejar-kejaran.

Di usia 17 tahun, aku tahu aku sudah menanggung dosa sendiri. Karena sudah baligh, sudah mimpi "naik ke bulan". Sebuah istilah yang aku tidak tahu apa artinya. Tapi aku baru "naik ke bulan" selama dua tahun. Jadi dosaku masih dua tahun, masih sedikit. Jadi, umur 20 tahun nanti lah aku akan mengganti shalat yang tertinggal itu.

Di usia 20 tahun, aku mulai mempertanyakan agamaku. Aku sudah masuk kuliah dan harus kritis. Jadi aku bertanya tentang tuhan, tentang kitab suci, tentang nabi dan tentang kebenaran dari semuanya. Aku tidak mungkin shalat dalam keadaan labil. Aku harus menemukan jati diriku.

Di usia 24 tahun, aku selesai kuliah. Agamaku telah mulai kuyakini. Tapi kini aku tengah sibuk mencari kerja. Jadi aku sibuk kesana kemari. Mencari lowongan, menyiapkan berkas lamaran. dan itu melelahkan sekali. Aku tidak memiliki waktu untuk shalat. Shalat sih sebentar saja, tapi kadang terlalu sering menginterupsi.

Di usia 25 tahun. Aku belum mendapat kerja. Aku menggugat tuhan. Aku telah berusaha, tapi aku tidak mendapatkan. Aku jadi tidak mau shalat.

Di usia 27 tahun. Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama. Posisiku juga lumayan. Tapi, sibuknya bukan main. Sebentar-sebentar HP berdering. Lagi pula aku tengah pedekate dengan seorang gadis pujaan. Dengan seabrek kesibukan itu, mana sempat aku shalat.

Usiaku beranjak 30 ketika anak pertamaku lahir. Duh senangnya, karirku juga makin mapan. Namun, kesibukan makin merajai. Aku harus mengejar setiap kesempatan untuk masa depan keluargaku. Pertumbuhan anakku juga menyita perhatian yang besar, aku juga harus menyekolahkan anakku ke sekolah umum dan agama agar kelak ia berguna bagi bangsa dan agamanya.

Di usia 35, anak keduaku lahir. Dia wanita, cantik sekali. Bahkan sering aku memandikan dan menggantikan popoknya. Hidupku serasa lengkap sekali. Tapi, biaya hidup makin meningkat. Orang tuaku juga sudah mulai sakit-sakitan dan butuh biaya berobat. Aku harus makin rajin bekerja untuk menafkahi mereka. Sholat masih bisa kumulai di usia 40 nanti, pikirku.

Di usia 40, entah kenapa anakku tak seperti yang kuharapkan. Aku tak menyangka mereka bisa senakal itu. Bahkan anak pertamaku pernah tertangkap karena menghisap daun ganja. Daun surga katanya. Aku tak bisa konsentrasi untuk shalat. Ada saja yang membuat aku tak pernah melakukan ibadah utama itu.

45 tahun kujalani. Aku semakin lemah, tak sekuat dulu. Batuk sesekali mengeluarkan darah. Istriku mulai rajin berdandan, sayangnya dia berdandan saat keluar rumah saja. Di rumah, wajahnya tak pernah dipupur bedak sedikitpun. Aku merutuk, dosa apa yang telah aku lakukan hingga hidupku jadi begini?

Usiaku menginjak 55, aku berpikir kalau usia 60 nanti adalah waktu yang tepat untuk memulai shalat. Saat aku sudah pensiun dan aku akan tinggal di rumah saja. Saat itu adalah saat yang tepat sekali untuk menghabiskan hari tua dan beribadah sepenuhnya kepada tuhan.

Tapi aku sudah lupa bagaimana cara shalat. Aku lupa bacaannya. Aduh, aku harus mendatangkan seorang ustadz ke rumah seminggu 3 kali. Tapi aku tak kuat lagi untuk mengingat. Ingatanku tak setajam ketika dulu aku kerap juara lomba di kampus atau sekolah. Atau ketika manajer perusahaan salut pada tingkat kecerdasanku. Kali ini semua telah pudar. Jadi, apa yang diajarkan ustadz itu sering membal dari telingaku. Lagipula, badanku sudah tak begitu kuat untuk duduk lama-lama.

Kalau tidak salah, kali itu usiaku 59 tahun ketika istriku minta cerai. Alasannya tak lagi jelas kuingat, salah satunya katanya karena lututku tak kencang lagi bergoyang. Lucu ya? Entah kenapa juga dulu aku menikahinya, umurnya 20 tahun lebih muda dariku. Dia memang istri keduaku. Istri pertamaku dulu hilang, dibawa sahabatku.

Tak sampai usiaku 60, aku masih berusaha untuk shalat. Tapi serangan jantung membuat rumah mewahku ramai. Mereka terlihat menangis. Bahkan anak pertamaku yang membangkrutkan satu perusahaan keluargaku terlihat begitu tertekan. Ada kata yang sepertinya ingin dia ucap.

Terakhir aku akhirnya bisa shalat juga, sayangnya aku tidak shalat dengan gerakku sendiri. Aku hanya terbaring atau terbujur tepatnya. dan orang-orang menyalatkanku.

Mikrotik RB750 default setting

Minggu, 16 Oktober 2011

#| ether1 is renamed ether1-gateway, rest of interfaces are switched
#| IP address 192.168.88.1/24 is on switch
#| DHCP client is on ether1-gateway
#| DHCP server is on switch, with address pool 192.168.88.10-192.168.88.254
#| masquerade on ether1-gateway
:global action

# these commands are executed after installation or configuration reset
:if ($action = "apply") do={
/interface set ether1 name=ether1-gateway
/interface set ether2 name=ether2-local-master
/interface set ether3 name=ether3-local-slave
/interface set ether4 name=ether4-local-slave
/interface set ether5 name=ether5-local-slave

/interface ethernet set ether3-local-slave master-port=ether2-local-master
/interface ethernet set ether4-local-slave master-port=ether2-local-master
/interface ethernet set ether5-local-slave master-port=ether2-local-master

/ip address add address=192.168.88.1/24 interface=ether2-local-master comment="default configuration"

:if ([:len [/system package find name="dhcp" !disabled]] != 0) do={
/ip dhcp-client add interface=ether1-gateway disabled=no comment="default configuration";
/ip pool add name=default-dhcp ranges=192.168.88.10-192.168.88.254;
/ip dhcp-server add name=default address-pool=default-dhcp interface=ether2-local-master disabled=no;
/ip dhcp-server network add address=192.168.88.0/24 gateway=192.168.88.1 dns-server=192.168.88.1 comment="default configuration";
}

/ip firewall {
filter add chain=input action=accept protocol=icmp comment="default configuration"
filter add chain=input action=accept connection-state=established in-interface=ether1-gateway comment="default configuration"
filter add chain=input action=accept connection-state=related in-interface=ether1-gateway comment="default configuration"
filter add chain=input action=drop in-interface=ether1-gateway comment="default configuration"
nat add chain=srcnat out-interface=ether1-gateway action=masquerade comment="default configuration"
}

/ip dns {
set allow-remote-requests=yes
static add name=router address=192.168.88.1
}

/tool mac-server remove [find]
/tool mac-server add interface=ether2-local-master disabled=no
/tool mac-server add interface=ether3-local-slave disabled=no
/tool mac-server add interface=ether4-local-slave disabled=no
/tool mac-server add interface=ether5-local-slave disabled=no

/tool mac-server mac-winbox disable [find]
/tool mac-server mac-winbox add interface=ether2-local-master disabled=no
/tool mac-server mac-winbox add interface=ether3-local-slave disabled=no
/tool mac-server mac-winbox add interface=ether4-local-slave disabled=no
/tool mac-server mac-winbox add interface=ether5-local-slave disabled=no

/ip neighbor discovery set [find name=ether1-gateway] discover=no
}

# these commands are executed if user requests to remove default configuration
:if ($action = "revert") do={
/ip firewall {
:local o [nat find comment="default configuration"]
:if ([:len $o] != 0) do={ nat remove $o }

:local o [filter find comment="default configuration"]
:if ([:len $o] != 0) do={ filter remove $o }
}

:if ([:len [/system package find name="dhcp" !disabled]] != 0) do={
:local o [/ip dhcp-server network find comment="default configuration"]
:if ([:len $o] != 0) do={ /ip dhcp-server network remove $o }

:local o [/ip dhcp-server find name="default" address-pool="default-dhcp" interface=ether2-local-master !disabled]
:if ([:len $o] != 0) do={ /ip dhcp-server remove $o }

/ip pool {
:local o [find name=default-dhcp ranges=192.168.88.10-192.168.88.254]
:if ([:len $o] != 0) do={ remove $o }
}

:local o [/ip dhcp-client find comment="default configuration"]
:if ([:len $o] != 0) do={ /ip dhcp-client remove $o }
}

/ip dns {
set allow-remote-requests=no
:local o [static find name=router address=192.168.88.1]
:if ([:len $o] != 0) do={ static remove $o }
}

/ip address {
:local o [find comment="default configuration"]
:if ([:len $o] != 0) do={ remove $o }
}

/tool mac-server remove [find]
/tool mac-server add interface=all disabled=no

/tool mac-server mac-winbox remove [find interface!=all]
/tool mac-server mac-winbox set [find] disabled=no

/ip neighbor discovery set [find name=ether1-gateway] discover=yes

/interface ethernet set ether3-local-slave master-port=none
/interface ethernet set ether4-local-slave master-port=none
/interface ethernet set ether5-local-slave master-port=none

/interface set ether1-gateway name=ether1
/interface set ether2-local-master name=ether2
/interface set ether3-local-slave name=ether3
/interface set ether4-local-slave name=ether4
/interface set ether5-local-slave name=ether5
}

Menjaga Lisan

Sesungguhnya lisan merupakan organ tubuh yang sangat penting karena ialah yang menta’bir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam hati seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap, jika seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya mengucapkan keburukan-keburukan maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka, dan inilah yang lebih banyak terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

Mayoritas dosa seorang anak Adam adalah pada lisannya[1]

Oleh karena itu lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat manusia ke dalam api neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ

Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[2]

Sesungguhnya penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak terkendali sangatlah banyak, namun di sana ada sebuah penyakit yang paling merajalela dan menjangkiti kaum muslimin. Penyakit tersebut terasa sangat ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk didengarkan[3] (bagi orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa syaitan), namun dosanya sangatlah besar….penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan saudara sesama muslim)[4]

Betapa banyak persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan ghibah…???

Betapa banyak kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada kaum muslimin dikarenakan ghibah...???

Betapa banyak permusuhan terjadi diantara kaum muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???

Dan betapa banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah yang dilakukannya…???

Serta betapa banyak orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang dilakukannya…???

Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-

Banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah ta'ala dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah

Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan merupakan perkara yang aneh adalah mudah bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram, menjauhkan dirinya dari perbuatan dzolim, zina, mencuri, memimum minuman keras, memandang pada perkara-perkara yang diharamkan baginya, dan perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk menjaga gerak-gerik lisannya. Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun ia mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut sehingga iapun terperosok ke neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat hanya dikarenakan satu kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam menjauhi perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun lisannya ceplas-ceplos menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]

Berkata Al-Ghozaali, “Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati para salaf, dan mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa dan tidak juga pada sholat, akan tetapi mereka memandangnya pada sikap menahan diri dari (melecehkan) harkat dan harga diri manusia”[7]

Sebagian orang yang dikenal berpegang teguh dengan sunnah dan berdakwah menyeru kepada sunnah, serta memiliki semangat untuk membantah ahlul bid’ah –yang hal ini merupakan perkara yang sangat dituntut dalam syariat- namun yang sangat disayangkan, mereka tatkala terbiasa membantah ahlul bid’ah dan membicarakan kejelekan-kejelekan mereka, akhirnya terbiasa pula dengan bergihbah ria membicarakan kejelekan-kejelekan saudara-saudara mereka sendiri sesama ahlus sunnah. Sebagaimana perkara mengghibah ahlul bid’ah merupakan hal yang biasa akhirnya menggibah saudara-saudara merekapun sesama ahlus sunnah menjadi hal yang lumrah dan biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka lupa bahwa mengghibah ahlul bid’ah merupakan rukhsoh yang diberikan oleh syari’at karena ada kemaslahatan yang diperoleh dan itupun harus sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at, dan hal ini tidaklah bisa disamakan dengan mengghibah sesama Ahlus sunnah.

Oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan bahaya penyakit ini dan hukum-hukum seputar penyakit ini untuk mengingatkan penulis pribadi akan bahaya ghibah dan juga mengingatkan para saudaraku kaum muslimin.

Allah ta'ala benar-benar telah mencela penyakit ghibah dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah ta'ala menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah. Allah ta'ala berfirman :

}وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{

Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)

Allah ta'ala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging saudara (yang digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup”.[8] Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu:

عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)”[9]. Syaikh Salim Al-Hilaly berkata : “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [10]

Definisi ghibah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلى الله عليه و سلم قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[11]

Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:

عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ tيَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ

Dari Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan” [12]

Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah :”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Dan hadits ini umum mencakup apa saja yang dibenci oleh saudaramu[13]. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya, tentang anaknya, saudaranya, atau istrinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”[14].

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.

عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا

Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [15]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلمحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

Dari ‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya” [16]

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَألَ : ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ

Dari Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia berkata :”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu”[17]

Ibnu Sirin pernah berkata, “Jika seseorang benci jika engkau berkata kepadanya, “Rambutmu keriting” maka janganlah engkau menyebutkan hal itu”[18]

Adapun pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”.

Adapun pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Dan menggibahi seseorang dengan menyebutkan perkara-perkara yang berkaitan dengan agamanya merupakan ghibah yang sangat keji.

Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat) tubunya”[19]

Adapun pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.

Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mintalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. [20]

Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian” [21]

Termasuk ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.

Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu. [22]

Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat dengan perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa dipahami bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah ta'ala yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga Allah ta'ala melindungi kita dari memakan harta manusia dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek.[23] Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah”[2]

Berikut ini kami menyampaikan sebuah hadits yang berkaitan dengan kisah Uwais Al-Qoroni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalah shahihnya[3]. Namun agar kisahnya lebih jelas dan gamblang maka dalam riwayat Imam Muslim ini kami menyelipkan riwayat-riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, Abu Ya’la dan Ibnul Mubarok dalam kedua musnad mereka.

Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob, jika datang kepadanya amdad dari negeri Yaman maka Umar bertanya mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit baros (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. ((Pada riwayat Abu Ya’la[5]: Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.” Umar berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya aka ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”)) Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!” ((Dalam suatu riwayat Al-Hakim[6] : “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”)), lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

((Dalam riwayat Al-Hakim[7] : Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qoroni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”)

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka[8] dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta” ((Dalam riwayat Ibnul Mubarok[9] : orang itu berkata “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais”)). Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Orang itu menjawab, “Iya”. ((Dalam riwayat Al-Hakim[10] : Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini, janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga)) Maka Uwaispun memohon ampunan bagi orang itu. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[11]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[12]

Faedah-faedah dari hadits ini:

1. Tidak berarti orang yang kedudukannya di sisi Allah mulia harus merupakan orang yang terhormat, dihargai manusia, perkataannya di dengar, ilmunya banyak, dan bebas dari tuduhan-tuduhan. Lihatlah Uwais Al-Qoroni…???

Beliau adalah seorang penduduk negeri Yaman yang hampir tidak ada yang mengenalnya. Beliau adalah orang yang miskin, bahkan saking miskinnya beliau tidak bisa menemui para sahabatnya karena tidak memiliki kain untuk menutupi jasadnya bagian atas, bahkan merupakan bahan ejekan di kaumnya, bahkan ada yang menuduhnya tukang menipu untuk mengambil milik orang lain, kaumnya mengingkarinya jika ia memakai burdah (kain yang bagus) dan menuduhnya mendapatkannya dari jalan yang tidak benar karena saking terlalu miskinnya beliau, dan inilah penilaian manusia yang mengukur dengan penilaian materi.

Renungkanlah perkataan Ibnul Qoyyim berikut ini:

“...Betapa banyak orang yang teristidroj dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah-pen) padahal dia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan keadaannya dimana kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka....”

Beliau melanjutkan,”.... semua kekuatan baik yang nampak maupun yang batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhoi Allah maka hal itu adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka kekuatan tersebut adalah bencana. Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu merupakan karunia Allah, jika tidak , maka hanyalah merupakan bencana. Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah bukan untuk mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah karunia Allah. Jika tidak demikian maka dia hanyalah bumerang baginya....dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk, rendah, dan hina dihadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati manusia maka hal ini adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka hanyalah bencana.....oleh karena itu hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugrah dan bumerang baginya karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.”[13]

2. Keutamaan Ikhlas dan menyembunyikan amalan-amalan sholeh.

Perkara-perkara yang menunjukan keikhlasan Uwais dan jauhnya beliau dari cinta kepada ketenaran.

1. Tatkala Umar berkata kepadanya, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, makapun ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

2. Perkataan Uwais kepada Umar, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.”. Hal ini menunjukan bahwa beliau meskipun terkabulkan do’anya oleh Allah namun beliau tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, karena hal ini bisa menimbulkan kesan kepada orang yang mendengar bahwa beliau adalah orang yang mulia yang doanya didengar oleh Allah. Meskipun menceritakan kenikmatan yang Allah berikan kepada seseorang disyari’atkan akan tetapi sebagian orang tidak ikhlas tatkala menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang Allah karuniakan kepadanya yaitu niatnya dalam rangka agar para pendengar menganggapnya adalah orang yang hebat, yang spesial sehingga diberi kenikmatan oleh Allah.

3. Perkataan beliau kepada orang yang memintanya untuk berdoa baginya, “Janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu”

4. Sikap beliau yang mengasingkan diri tatkala orang-orang mengetahuinya merupakan orang yang terkabulkan do’anya.

5. Keadaan beliau yang menjadi bahan olok-olokan oleh kaumnya. An-Nawawi berkata, “Hal ini (yaitu keadaan Uwais yang menjadi bahan olokan kaumnya) menunjukan bahwasanya beliau menyembunyikan ibadahnya (hubungan antara ia dan Robnya), dan ia sama sekali tidak menampakkannya walau sedikitpun. Ini merupakan jalan orang-orang yang mengenal Robb mereka dan para wali Allah[14]

Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.

Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar :

اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.”[15]

Dalam riwayat yang lain[16] beliau berkata:

أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).”

Wallahu a'lam bi showab

Moga bermanfaat ... edited from firanda.com

Menjaga Lisan

Sesungguhnya lisan merupakan organ tubuh yang sangat penting karena ialah yang menta’bir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam hati seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap, jika seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya mengucapkan keburukan-keburukan maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka, dan inilah yang lebih banyak terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

Mayoritas dosa seorang anak Adam adalah pada lisannya[1]

Oleh karena itu lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat manusia ke dalam api neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ

Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[2]

Sesungguhnya penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak terkendali sangatlah banyak, namun di sana ada sebuah penyakit yang paling merajalela dan menjangkiti kaum muslimin. Penyakit tersebut terasa sangat ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk didengarkan[3] (bagi orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa syaitan), namun dosanya sangatlah besar….penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan saudara sesama muslim)[4]

Betapa banyak persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan ghibah…???

Betapa banyak kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada kaum muslimin dikarenakan ghibah...???

Betapa banyak permusuhan terjadi diantara kaum muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???

Dan betapa banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah yang dilakukannya…???

Serta betapa banyak orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang dilakukannya…???

Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-

Banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah ta'ala dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah

Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan merupakan perkara yang aneh adalah mudah bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram, menjauhkan dirinya dari perbuatan dzolim, zina, mencuri, memimum minuman keras, memandang pada perkara-perkara yang diharamkan baginya, dan perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk menjaga gerak-gerik lisannya. Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun ia mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut sehingga iapun terperosok ke neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat hanya dikarenakan satu kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam menjauhi perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun lisannya ceplas-ceplos menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]

Berkata Al-Ghozaali, “Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati para salaf, dan mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa dan tidak juga pada sholat, akan tetapi mereka memandangnya pada sikap menahan diri dari (melecehkan) harkat dan harga diri manusia”[7]

Sebagian orang yang dikenal berpegang teguh dengan sunnah dan berdakwah menyeru kepada sunnah, serta memiliki semangat untuk membantah ahlul bid’ah –yang hal ini merupakan perkara yang sangat dituntut dalam syariat- namun yang sangat disayangkan, mereka tatkala terbiasa membantah ahlul bid’ah dan membicarakan kejelekan-kejelekan mereka, akhirnya terbiasa pula dengan bergihbah ria membicarakan kejelekan-kejelekan saudara-saudara mereka sendiri sesama ahlus sunnah. Sebagaimana perkara mengghibah ahlul bid’ah merupakan hal yang biasa akhirnya menggibah saudara-saudara merekapun sesama ahlus sunnah menjadi hal yang lumrah dan biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka lupa bahwa mengghibah ahlul bid’ah merupakan rukhsoh yang diberikan oleh syari’at karena ada kemaslahatan yang diperoleh dan itupun harus sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at, dan hal ini tidaklah bisa disamakan dengan mengghibah sesama Ahlus sunnah.

Oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan bahaya penyakit ini dan hukum-hukum seputar penyakit ini untuk mengingatkan penulis pribadi akan bahaya ghibah dan juga mengingatkan para saudaraku kaum muslimin.

Allah ta'ala benar-benar telah mencela penyakit ghibah dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah ta'ala menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah. Allah ta'ala berfirman :

}وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{

Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)

Allah ta'ala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging saudara (yang digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup”.[8] Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu:

عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)”[9]. Syaikh Salim Al-Hilaly berkata : “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [10]

Definisi ghibah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلى الله عليه و سلم قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[11]

Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:

عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ tيَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ

Dari Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan” [12]

Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah :”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Dan hadits ini umum mencakup apa saja yang dibenci oleh saudaramu[13]. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya, tentang anaknya, saudaranya, atau istrinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”[14].

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.

عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا

Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [15]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلمحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

Dari ‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya” [16]

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَألَ : ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ

Dari Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia berkata :”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu”[17]

Ibnu Sirin pernah berkata, “Jika seseorang benci jika engkau berkata kepadanya, “Rambutmu keriting” maka janganlah engkau menyebutkan hal itu”[18]

Adapun pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”.

Adapun pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Dan menggibahi seseorang dengan menyebutkan perkara-perkara yang berkaitan dengan agamanya merupakan ghibah yang sangat keji.

Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat) tubunya”[19]

Adapun pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.

Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mintalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. [20]

Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian” [21]

Termasuk ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.

Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu. [22]

Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat dengan perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa dipahami bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah ta'ala yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga Allah ta'ala melindungi kita dari memakan harta manusia dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek.[23] Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah”[2]

Berikut ini kami menyampaikan sebuah hadits yang berkaitan dengan kisah Uwais Al-Qoroni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalah shahihnya[3]. Namun agar kisahnya lebih jelas dan gamblang maka dalam riwayat Imam Muslim ini kami menyelipkan riwayat-riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, Abu Ya’la dan Ibnul Mubarok dalam kedua musnad mereka.

Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob, jika datang kepadanya amdad dari negeri Yaman maka Umar bertanya mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit baros (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. ((Pada riwayat Abu Ya’la[5]: Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.” Umar berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya aka ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”)) Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!” ((Dalam suatu riwayat Al-Hakim[6] : “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”)), lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

((Dalam riwayat Al-Hakim[7] : Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qoroni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”)

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka[8] dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta” ((Dalam riwayat Ibnul Mubarok[9] : orang itu berkata “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais”)). Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Orang itu menjawab, “Iya”. ((Dalam riwayat Al-Hakim[10] : Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini, janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga)) Maka Uwaispun memohon ampunan bagi orang itu. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[11]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[12]

Faedah-faedah dari hadits ini:

1. Tidak berarti orang yang kedudukannya di sisi Allah mulia harus merupakan orang yang terhormat, dihargai manusia, perkataannya di dengar, ilmunya banyak, dan bebas dari tuduhan-tuduhan. Lihatlah Uwais Al-Qoroni…???

Beliau adalah seorang penduduk negeri Yaman yang hampir tidak ada yang mengenalnya. Beliau adalah orang yang miskin, bahkan saking miskinnya beliau tidak bisa menemui para sahabatnya karena tidak memiliki kain untuk menutupi jasadnya bagian atas, bahkan merupakan bahan ejekan di kaumnya, bahkan ada yang menuduhnya tukang menipu untuk mengambil milik orang lain, kaumnya mengingkarinya jika ia memakai burdah (kain yang bagus) dan menuduhnya mendapatkannya dari jalan yang tidak benar karena saking terlalu miskinnya beliau, dan inilah penilaian manusia yang mengukur dengan penilaian materi.

Renungkanlah perkataan Ibnul Qoyyim berikut ini:

“...Betapa banyak orang yang teristidroj dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah-pen) padahal dia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan keadaannya dimana kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka....”

Beliau melanjutkan,”.... semua kekuatan baik yang nampak maupun yang batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhoi Allah maka hal itu adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka kekuatan tersebut adalah bencana. Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu merupakan karunia Allah, jika tidak , maka hanyalah merupakan bencana. Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah bukan untuk mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah karunia Allah. Jika tidak demikian maka dia hanyalah bumerang baginya....dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk, rendah, dan hina dihadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati manusia maka hal ini adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka hanyalah bencana.....oleh karena itu hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugrah dan bumerang baginya karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.”[13]

2. Keutamaan Ikhlas dan menyembunyikan amalan-amalan sholeh.

Perkara-perkara yang menunjukan keikhlasan Uwais dan jauhnya beliau dari cinta kepada ketenaran.

1. Tatkala Umar berkata kepadanya, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, makapun ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

2. Perkataan Uwais kepada Umar, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.”. Hal ini menunjukan bahwa beliau meskipun terkabulkan do’anya oleh Allah namun beliau tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, karena hal ini bisa menimbulkan kesan kepada orang yang mendengar bahwa beliau adalah orang yang mulia yang doanya didengar oleh Allah. Meskipun menceritakan kenikmatan yang Allah berikan kepada seseorang disyari’atkan akan tetapi sebagian orang tidak ikhlas tatkala menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang Allah karuniakan kepadanya yaitu niatnya dalam rangka agar para pendengar menganggapnya adalah orang yang hebat, yang spesial sehingga diberi kenikmatan oleh Allah.

3. Perkataan beliau kepada orang yang memintanya untuk berdoa baginya, “Janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu”

4. Sikap beliau yang mengasingkan diri tatkala orang-orang mengetahuinya merupakan orang yang terkabulkan do’anya.

5. Keadaan beliau yang menjadi bahan olok-olokan oleh kaumnya. An-Nawawi berkata, “Hal ini (yaitu keadaan Uwais yang menjadi bahan olokan kaumnya) menunjukan bahwasanya beliau menyembunyikan ibadahnya (hubungan antara ia dan Robnya), dan ia sama sekali tidak menampakkannya walau sedikitpun. Ini merupakan jalan orang-orang yang mengenal Robb mereka dan para wali Allah[14]

Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.

Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar :

اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.”[15]

Dalam riwayat yang lain[16] beliau berkata:

أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).”