Membangun Paradigma Baru Kurikulum TIK di Indonesia

Senin, 28 Oktober 2013

Terlebih dahulu, tulisan ini bukan bertujuan untuk menolak kurikulum 2013. Dan juga bukan dimaksudkan sebagai aksi untuk menentang dihapuskannya mata pelajaran TIK dari kurikulum 2013. Barangkali, sedikit cerita di bawah ini dapat membuka wawasan kita.
 
Di harian online BBC berbahasa Indonesia, dikisahkan bahwa Michael Gove, menteri pendidikan nasional Inggris, sedang melakukan revolusi besar-besaran sehubungan dengan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasinya. Mengapa? Menurut Gove, mengutip dari berita tersebut,”Kurikulum TIK yang digunakan di sekolah-sekolah Inggris saat ini dinilai ‘tidak memicu motivasi (siswa) dan membosankan’, karena para siswa belajar keterampilan digital mendasar, seperti word processing atau perangkat lunak untuk menulis.”
 
Pembelajaran seperti di atas hanya melahirkan generasi pengguna. Sedangkan kita tahu bahwa anak-anak belajar dengan cepat untuk menggunakan sebuah aplikasi. Maka tidak heran jika kemudian sebagian orang berpikir bahwa pelajaran TIK di sekolah tidak perlu ada.
Kembali pada kisah di atas. Apakah yang kemudian dilakukan menteri pendidikan nasional Inggris itu? Alih-alih menghapus mata pelajaran TIK di sekolah, ia menawarkan 50 beasiswa senilai £20.000 untuk pelatihan guru ICT pada tahun pertama dengan sasaran awal sebanyak 500 guru. Para sarjana yang boleh mengajukan diri untuk beasiswa tersebut adalah mereka yang memahami konsep-konsep komputer, seperti algoritma, logika, jaringan data, dan internet.
 
Gove mengharapkan agar para murid nantinya belajar tentang kode komputer, sehingga mampu menghasilkan animasi yang sederhana atau membuat aplikasi untuk telepon pintar mereka.
Singkatnya, Gove ingin negaranya menghasilkan generasi pencipta (dan bukan sekedar pemakai aplikasi), seperti Mark Zukenberg penemu Facebook dan Larry dan Sergey penemu Google. Gove berharap akan banyak tumbuh para pengembang aplikasi di Inggris. Dengan demikian, kewirausahaan pun akan terangkat naik, selanjutnya mampu memajukan ekonomi Inggris sendiri.
Dan Inggris sudah memulainya. Memasuki awal tahun 2013, sekolah-sekolah di Inggris mendapatkan bantuan sebuah komputer bernama Raspberry Pi. Komputer mini ini ditujukan untuk anak belajar berkreasi.
 
Informasi lengkap mengenai Raspberry Pi, bisa dibaca di sini. Komputer ini bisa dioprek oleh penggunanya. Dan kini, pembelajaran TIK di Inggris memulai era baru dengan Sains TIK-nya.
Saya tiba-tiba teringat dengan kurikulum 2013 yang mengedepankan Sains, karena sains mengambil tema sentral untuk semua mata pelajaran. Sayangnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia lebih memilih menghapus mata pelajaran TIK dibandingkan melakukan perubahan kurikulum TIK dengan pendekatan Sains TIK.
 
Guru memang bukan segalanya, mereka hanyalah pembuka jalan. Kisah Thomas Suarez, seorang anak laki-laki berumur 12 tahun yang menjadi pengembang aplikasi, mungkin bisa menjadi tambahan bacaan yang menarik. Atau kisah remaja Inggris berusia 17 tahun bernama Nick D’Aloisio yang aplikasinya dibeli Yahoo.
 
Sedikit cerita di atas mungkin bisa menjadi pertimbangan dalam penghapusan mata pelajaran TIK. Pelatihan guru TIK serta perubahan kurikulum untuk mata pelajaran TIK barangkali bisa menjadi solusi yang dapat dipikirkan kembali.
Negara-negara maju sendiri sangat menghargai kemajuan teknologi dan pendidikan. Mengutip kalimat Presdien Finlandia, bahwa negara yang maju adalah mereka yang mengutamakan pendidikan. Maka, segala kebijakan mengenai pendidikan sepatutnya mengedepankan kepentingan anak didik, dan bukan dilandasi oleh kepentingan politis apapun.***
Oleh: Hindraswari Enggar
Penulis adalah blogger di enggar.net.