Siapa yang (Tidak) Butuh Google? Tidak Ada!

Rabu, 15 Mei 2013



Jakarta - Google telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di jaman yang serba terhubung ini. Dari anak hingga kakek-nenek, semua orang merasa butuh dan hidupnya tampak lebih mudah dengan kehadiran Google. Tapi sadarkah Anda bahwa sebenarnya kita tak lagi butuh Google atau mesin pencari lainnya?

Google.com (dan atribut TLD lainnya, .co.id, .com.sg, dan seterusnya) telah menjadi bagian dari kehidupan berinternet sejak pertama kali diluncurkan, 1998. 

Sejak itu hingga tahun-tahun berikutnya, ia menjadi tempat yang tak pernah sepi pengunjung. Ada yang berusaha mencari sanak famili yang telah lama tak ditemukan jejaknya. Ada pula yang belajar ilmu baru. Beberapa juga mencari kambingnya yang hilang.

Apakah semuanya ketemu? Well, nasib orang tak selalu mujur. Tapi jika dihitung, mereka yang tak berhasil menemukan apa yang dicarinya hanyalah sejumlah kecil saja. Terlebih dengan semakin banyak konten online menemukan sesuatu tentu jauh lebih gampang dari sebelumnya. 

Tidak menemukan yang dicari hanyalah terjadi pada mereka yang nasibnya benar-benar apes saja. Pernah menghitung berapa kali Anda tak berhasil menemukan sesuatu di Google? Berapa kali?

Kehadiran Google memang membawa kemujuran, kemudahan, dan tak jarang kebahagiaan di kehidupan banyak orang. Dalam bahasa dramatis beberapa orang berkata 'tak bisa hidup tanpa Google'. Beberapa malah menjadikan Google sebagai 'agama' baru.

Sampai di titik ini Google telah menjadi bagian dari kehidupan normal manusia, atau mungkin malah menjadi bagian dari kebutuhan hidup.

Tapi kondisi ini akan berubah dengan drastis sampai akhirnya kita tak lagi butuh sesuatu yang bernama Google.com, atau Bing.com, dan seterusnya. Kenapa?

Bagi pengguna smartphone berbasis Android versi 4.1+ atau Jelly Bean, Anda dapat menemukan fitur baru yang disebut Google Now. Beberapa hari lalu Google Now juga hadir di iPhone dan iPad dengan buntut bintang kecil (*), belum hadir di Indonesia.

Lalu, apakah itu Google Now? Untuk apakah dia? Bagaimana dia bekerja? Apa hubungannya dengan mesin pencari dan konten online ini? Dan apakah Anda juga memerlukannya, seperti halnya saya?

Google Now mampu menjawab pertanyaan, memberikan informasi hingga rekomendasi, melakukan sesuatu di web sesuai permintaan, dan juga memprediksi apa yang kita mau. 

Dalam wujud konkritnya, Now mampu memberikan informasi (dalam wujud kartu-kartu) tentang tiket terbang, tracking paket yang kita kirimkan, bursa saham, jadwal pertandingan olahraga, informasi lalu lintas, cuaca, jadwal meeting, dan banyak lagi lainnya.

Ambil contoh Anda sedang berada di rumah, anggap saja Bintaro, dan punya jadwal meeting dengan klien di Jl. Thamrin, Jakarta. Sejak beberapa menit sebelum waktu meeting, Now akan menghadirkan informasi bahwa Anda memiliki jadwal meeting di tempat tersebut serta mengabarkan berapa lama waktu tempuh perjalanan dengan kondisi lalu lintas yang ada saat itu. 

Jika jalanan cukup lancar Anda masih bisa bersantai sebelum berangkat. Dan jika lalu lintas padat, Anda bisa segera bergegas untuk menghindari terlambat sampai tujuan.

Contoh lainnya adalah ketika berada di luar negeri. Informasi lalu lintas di negara tujuan akan diberikan tanpa diminta berikut informasi mata uang, cuaca, bahasa, waktu setempat dan tak lupa rekomendasi tempat menarik terdekat. Semuanya ada di satu tempat dan datang secara otomatis.

Di sini dapat dilihat bahwa Google Now adalah contoh paling nyata dari konten online yang secara aktif mendatangi pengguna.

Sebenarnya Now sendiri bukanlah konten. Semua informasi tadi ia dapatkan dari data yang kita miliki terkait pencarian, email, dan lain-lain yang dimiliki oleh Google. 

Tetapi ia jelas cukup pintar untuk mengumpulkan informasi (konten) yang kita butuhkan tanpa perlu repot-repot dicari dan menghabiskan waktu berharga. Semua informasi yang kita butuhkan hadir dengan sendirinya di depan mata.

Now adalah sebuah permulaan ketika mesin pencari tak lagi sepenting dahulu. Seiring berjalannya waktu teknologi seperti Google Now akan berkembang lebih maju dan hadir dalam bentuk-bentuk lain. 

Ujungnya adalah semua konten online tak lagi berlomba menjadi teratas di halaman hasil pencarian, melainkan menjadi konten yang datang ke pengguna secara cepat dan juga tepat.

Dengan model seperti ini, tentu saja hidup menjadi lebih mudah lagi dibandingkan saat ini dengan kehadiran Google. Waktu yang dulu kita buang untuk mencari sesuatu dapat kita alokasikan untuk hal lain yang lebih berharga, seperti waktu bersama keluarga. Dan di saat yang sama, kita tak perlu pusing memikirkan konten mana yang sesuai dengan kebutuhan.

Bagaimana, Anda siap untuk putus dengan Google.com?

Canggih! Petani Jepang Sudah Pakai Cloud Computing


Tokyo - Para petani di Jepang sudah mulai memanfaatkan teknologi canggih untuk mengembangkan hasil panen mereka. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah sensor diletakkan untuk menjaga tanaman mereka. Fungsi sensor tersebut bermacam-macam. 

Ada yang dibuat untuk mendeteksi tingkat kelembaban, prediksi hujan, dan lainnya. Semua itu disatukan dalam satu sistem yang bisa dipantau melalui smartphone dan tablet PC. Data yang dihasilkan oleh sensor tersebut kemudian diolah oleh Fujitsu melalui perangkat khusus.
Kemudian data tersebut disimpan 'di awan' agar para pengguna bisa mengakses dari mana pun, komputer rumah, tablet PC, atau bahkan smartphone. 

Sistem tersebut dibuat oleh Fujitsu, dan konon sudah mulai digunakan oleh Fukuhara, Shinpuku Seika, Aeon Agri Create dan Sowakajeun. Semua itu adalah instansi pertanian yang beroperasi di Jepang. "Kami mengerti bagaimana pentingnya peran ICT dalam pertanian. Teknologi ini bisa dipakai untuk menjaga kualitas hasil panen," kata Masami Yamamoto, President Fujitsu Limited di sela-sela Fujitsu Forum 2013 di Tokyo International Forum 15-16 Mei 2013 yang turut dihadiri detikINET. 

Selain bisa menjaga kualitas hasil panen, teknologi tersebut juga diklaim Fujitsu bisa dipakai untuk mencegah gagal panen yang biasanya diakibatkan oleh kondisi cuaca yang tak terduga. Untuk bisa mencicipi teknologi tersebut para petani tak perlu membangun infrastruktur khusus, karena semua peralatan dan proses instalasi dikerjakan oleh Fujitsu. Biaya untuk menggunakannya pun tidak terlalu mahal, setiap bulan penggguna dikenakan biaya mulai dari Yen 40 ribu (sekitar Rp 3,8 juta), dan biaya instalasi awal sebesar Yen 50 ribu (Rp 4,7 juta). 

Lalu bagaimana peluangnya di Indonesia yang dulu sempat digaung-gaungkan sebagai negara agraris? Menurut Ewin Tan selaku Head of Product Management Fujitsu Indonesia, teknologi tersebut bisa saja dibawa ke Tanah Air jika ada petani lokal yang menginginkannya. "Kalau dibilang mungkin, ya mungkin. Karena sebenarnya memang bisa dipakai di Indonesia," tandas Ewin.